Senin, 02 Januari 2012

KETERBUKAAN TERMAKAN OLEH UANG

Memaknai arti Hak Asasi Manusia terutama di Indonesia tampaknya masih jauh dari kata kesempurnaan. Kebebasan merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari demokrasi, terkesan masih menapakkan makna sebagai kepentingan pihak tertentu. Demokrasi yang seharusnya dapat di rasakan manfaatnya oleh semua warga masyarakat belum dapat menampakkan esensi manfaat yang sebenarnya. Kebebasan yang menjadi butir utama dalam suatu system demokrasi pun terlihat hanya sebagai kata saja. Bagaimana tidak jika kebebasan itu harus di batasi dengan hal-hal yang menyebabkan diskriminasi social?
Tentu saja hal ini tidak dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Negara Indonesia yang secara umum menganut stratifikasi social terbuka yaitu seorang indiividu dapat bebas naik dalam suatu posisi atau tingkatan yang lebih tinggi atau dapat  turun akibat tindakan individu tersebut atau suatu kondisi yang mengakibatkannya. Dalam teorinya semua orang mempunyai hak yang sama untuk naik atau turun dalam suatu kelas. Namun seperti itukah kenyataan yang ada di Indonesia saat ini? Mari kita tinjau berbagai hal real yang ada di Indonesia sebagai contoh yaitu diskriminasi kelas.
"Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya".
Di Indonesia dalam teorinya memperbolehkan semua orang untuk naik atau menduduki kursi Dewan, yang berarti semua orang bisa mewakili rakyat dan menjalankan aspirasi rakyat. Di sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa stratifikasi di Indonesia itu bersifat terbuka. Namun keterbukaan dalam hal ini masih bersifat abu-abu, dalam artian apakah orang yang kurang mampu dalam hal financial dapat dengan mudah naik ke kursi dewan walaupun kemampuan dirinya dalam hal bersosialisasi, mengelola suatu kepemimpinan ataupun mengemban amanah tidak diragukan lagi. Segala sesuatu yang menuntut perubahan status seseorang belum bisa  dipisahkan dari yang namanya “uang”, dengan uang seorang yang tidak mempunyai kemapuan menjalankan suatu birikrasi pun bisa masuk dalam kawasan elit politik (dewan).
Selain contoh di atas ada satu contoh yang menurut saya merupakan suatu tonggak mengapa pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dari Negara yang lain. Yaitu pendidikan yang segalanya dengan uang. Seorang anak yang mempunyai kepandaian bias dikatakan di atas rata-rata ingin melanjutkan kuliah atau sekolah yang mutunya bagus dan termasuk favorit namun jika orang tuanya tidak mempunyai “modal” untuk menutut kepandaian anaknya itu tamatlah sudah pendidikan seorang anak tersebut. Walaupun banyak beasiswa yang ditawarkan dalam hal pendidikan, beasisiwa itu hanya cukup untuk membiayai SPP saja sedang untuk menunjang pendidikan seperti buku atau seragam belum dapat terselesaikan. Jadi keterbukaan stratifikasi di Indonesia masih merujuk lagi pada uang. Contoh di atas menggambarkan seseorang yang seharusnya mampu merubah kedudukannya atau melakukan mobilitas social namun terkendala oleh hal keuangan.
Penerapan kelas-kelas social di Negara kita ini terkadang membuat geli jika kita menanggapinya dengan sebuah guyonan. Contohnya saja penyakit kok bisa menjangkit dikarenakan seberapa banyak orang itu punya uang. Kenyataan yang sangat miris dan menyesakkan dada. Jika kita lihat kelas-kelas di rumah sakit, ada kelas I, II, III dan seterusnya. Seorang yang berasal dari keluarga biasa dengan penyakit kronis bercampur jadi satu dengan yang hanya terkena penyakit flu. Jika di tinjau dari Negara lain yang membagi rumah sakit itu  berdasarkan jenis penyakitnya. Ternyata penyakit di Indonesia itu berkelas social juga, sesuatu yang unik dan sangat menggelikan. Dengan ini tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa “ORANG MISKIN GAK BOLEH SAKIT” karena kalau sakit akan menyusahkan dan mempermalukan diri sendiri dan keluarga.
Memandang dari sekian kasus di Indonesia yang berkenaan dengan stratifikasi social dan mobilitas social tersebut dapat kita ambil benang merahnya bahwa segala mobilitas social yang terjadi di Indonesia tidak bisa dipisahklan dari yang namanya uang dari pendidikan, kesehatan, maupun kursi pemimpin yang seharusnya di emban oleh seseorang yang benar-benar mampu mengampu dan mengajak semua rakyat untuk berkembang pun masih di tentukan dengan uang.
Jika dalam bangsal-bangsal rumah sakit itu masih menggunakan kelas-kelas berdasarkan status ekonomi mengapa tidak dibuat saja kelas-kelas dalam masyarakat yang menggunakan dasar seberapa besar orang itu telah mengorupsi uang Negara. Bukankah kelas seperti itu lebih bermanfaat dari pada stratifikasi kelas dalam hal kesehatan. Jika di buat kelas dengan pertimbangan besarnya korupsi seseorang selain menimbulkan efek jera pasti juga merupakan terobosan yang bagus untuk perkembangan Indonesia ke depan.
Kaitan antara Hak Asasi Manusia, Stratifikasi Social dan Mobilitas Sosial disini dapat dilihat. Stratifikasi social di Indonesia yang berkaitan dengan pembagian kelas di bangsal rumah sakit seperti yang telah dibahas di atas merupakan diskriminasi kelas yang menganggap berbeda antara si miskin dan si kaya. Diskriminasi juga terlihat dalam mobilitas social yaitu perpindahan status social atau kedudukan seseorang dari atas ke bawah atau sebaliknya. Seseorang yang ingin berpindah status social dari orang tidak yang berpendidikan menjadi berpendidikan atau orang yang ingin berkontribusi dalanm kursi elit politik harus menggunakan berpuluh juta bahkan bermilyar-milyar rupiah. Diskriminasi masih terlihat sangat dominan dalam kehidupan kita. Yang menyedihkan lagi masyarakat kita menganggap ini sebagai hal yang biasa karena keadannya dari dulu seperti ini dan tidak berubah. Jika merekan berdemo menuntut hak mereka, meminta kedudukan dan menginginkan perpindahan social pun masih sangat sulit dirasa karena melihat fenomena yang sedemikian rupa.
Masalah ini tidak mudah untuk menyelesaikannya karena semua pihak harus turut serta dalam menghentikannya. Untuk menyelesaikan hal ini dapat dimulai dari hal yang kecil misalnya menghilangkan system bangsal dengan kelas-kelas berdasarkan kekuatan ekonomi seseorang. Kemudian sebisa mungkin pemerintah mengupayakan pendidikan yang murah yang bisa disanggupi oleh orang-orang yang berada dikalangan bawah sekali pun.
Jika semua yang ada sudah terukur dengan uang tiada akan berjalan dengan baik. Karena nantinya yang terjadi hanyalah suatu keserakahan dan ketamakan yang akan lebih banyak menimbulkan kriminalitas. Orang-orang yang merasa haknya kurang dihargai bisa saja menganggap tidak ada perhatuian untuk mereka atau mereka menggap mereka hanya sebuah butiran kecil yang mengotori Negara. Sehingga perubahan social dan stratifikasi social berdasarkan uang sebisa mungkin harus dihapuskan walaupun secara bertahap. Dan dengan ini Negarademokrasi dengan esensi manfaat yang sebenar-benarnya untuk rakyat tanpa membedakan status dan memberikan kebebasan tanpa harus berkutat dengan uang dapat terwujud dengan lancar.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Thank's gan infonya !

www.bisnistiket.co.id

Posting Komentar