Selasa, 03 Januari 2012

TOLERANSI BERAGAMA “PERSAUDARAAN ADALAH KEKKUATAN”


Kata toleransi berasal dari kata asing yaitu tolerare yang artinya bertahan atau memikul. Dari kata tersebut toleransi merujuk pada adanya suatu kerelaan untuk menerima adanya orang lain yang bebeda. Menurut Webster’s New American Dictionary arti toleransi adalah memberi kebebasan dan berlaku sabar dalam menghadapi orang lain. Padanan kata toleransi dalam bahasa arab yaitu tasamuf yang berati memberikan sesuatu  untuk saling mengizinkan dan saling memudahkan. Dari beberapa pendapat di atas toleransi dapat diartikan sebagai sikap menenggang, membiarkan, baik berupa pendirian, kepercayaan, dan kelakuan yang dimiliki seseorang atas yang lain. Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain. Toleransi tidak berarti seorang harus mengorbankan kepercayaan atau prinsip yang dianutnya. (Ajad, 2009:141-142)
Agama merupakan pedoman hidup pemeluknya. Ia memberi kepada pemeluknya pedoman atau petunjuk yang menyangkut segala aspek kehidupannya. Agama juga merupakan suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang dianggap gaib dan menjadikannya prinsip bertindak dan bertingkah laku bagi para pemeluknya. Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa toleransi beragama adalah sikap lapang dada dalam menghargai kepercayaan, prinsip dan pegangan hidup orang lain tanpa harus mengakui kebenaran atau mengorbankan kepercayaan yang dianutnya.
 Di  negeri ini telah menjadi semacam conventional wisdom, bahkan semacam hukum yang tidak tertulis, seakan-akan setiap orang harus beragama. Kewajiban atau keharusan beragama atau berkepercayaan itu pun masih  dibatasi lagi, yaitu orang hanya dapat memeluk salah satu agama yang diakui.(Soedjati, 1995:65)
Di negara Indonesia yang mengakui kebebasan beragama sering terjadi konflik yang mengatas namakan agama tertentu sehingga sering dianggap bahwa agama merupakn suatu  dari suatu konflik. Jika kita mengkaji lebih dalam mengenai masalah toleransi beragama dan jika semua masyarakat juga mengakui bahwa semua agama tidak ada yang buruk pasti akan tercipta ketentraman dalam mengarungi kehidupan bermasyarakat dengan keberagaman  agama. Namun pada kenyataannya, jangankan toleransi antar umat beragama, kerukunan inter umat beragama pun masih sulit untuk dikendalikan. Dalam keyakinan yang sama pun masih sering dijumpai konflik mengenai perbedaan tuntunan ataupun dalam menentukan suatu mazab.
Contoh kasus toleransi antar agama yang terjadi di Poso setelah konflik agama antara tahun 1998 hingga 2006.
Persaudaraan adalah Kekuatan
Oleh Ester Lince Napitupulu


Senin, 11 Oktober 2010 | 04:02 WIB
Kekerasan tak lagi ingin diberi tempat di bumi Poso. Konflik berlatar belakang agama yang meluluhlantakkan persaudaraan warga Muslim-Kristen tak lagi diungkit-ungkit. Yang diinginkan hanyalah harmoni yang kini telah terajut abadi. 
Jejak-jejak kerusuhan di sejumlah tempat di Poso, Sulawesi Tengah, yang terjadi mulai pengujung 1998 hingga 2006 itu hampir tak lagi berbekas dalam keseharian warga. Memang masih ada sisa-sisa bangunan rumah ibadah dan rumah penduduk yang hancur akibat kerusuhan, tetapi itu dianggap sebagai masa lalu yang harus ditutup.
Harmoni yang telah kembali itu sungguh terasa bermakna. Komunitas Kristen dan Muslim pada akhirnya sadar bahwa mereka bersaudara. Kekerabatan yang membuat mereka menikmati lese tuwu mombepomawa alias damai itu indah tak seharusnya tercabik-cabik.
”Dalam satu keluarga di sini ada yang Islam, ada yang Kristen. Kami jadi satu keluarga karena perkawinan. Jadi, untuk apa baku berkelahi,” ujar Bujalino, Sekretaris Desa Sangira, Kecamatan Tentena, Poso.
Bahkan, Bujalino dengan semangat mengabarkan kepada warga di Sangira bahwa ada seorang Muslim di Tanah Runtuh yang membantu warga Sangira. Warga yang sakit jantung itu akhirnya mendapat pengobatan gratis di satu rumah sakit.
”Ini menunjukkan silaturahim masyarakat sudah luar biasa. Masyarakat pada akhirnya menyadari konflik itu tidak bermanfaat,” ujar Bujalino.
Warga lainnya, Merlan Pondete, mengatakan bahwa jika masyarakat tidak berpikir jauh ke depan, anak-anak yang justru jadi korban. Masa depan anak- anak akan hancur.
Merlan ingat betul, pada tahun 2004, atas inisiatif teman- teman Kristen dan Muslim yang sedih dengan konflik yang memecah belah mereka, difasilitasilah silaturahim. Warga Muslim datang ke Desa Sangira yang mayoritas Kristen saat acara padungku atau pesta syukur seusai panen.
Gereja mengumumkan untuk menyambut saudara mereka tersebut. Bahkan, warga diminta menyajikan makanan yang netral supaya tidak menimbulkan prasangka. ”Pertemuan itu sangat indah dan mengharukan,” kenang Merlan.
Mereka menggelar pertandingan sepak bola persahabatan. Kalung bertuliskan lese tuwu mombepomawa, yang maknanya damai itu indah, pun dibagikan. ”Kalau kita hanya berpikir hari ini, ya kita tamat. Kami melakukan itu karena ingat masa depan anak-anak,” kata Merlan yang aktif dalam pelayanan anak di Wahana Visi Indonesia Poso yang berpusat di Tentena.
Di Tentena, mayoritas penduduknya Kristen. Namun, suara azan dari Masjid Jami Baitullah di Kelurahan Sangele, yang sempat terhenti sejak konflik pecah karena warga Muslim meninggalkan desa ini, telah kembali mewarnai keseharian umat Kristiani di daerah itu.
Ruwaidah, aktivis perdamaian dari institusi perempuan Aisyah Kabupaten Poso, bahkan tak sungkan datang ke Tentena. Pada bulan Ramadhan lalu, dia menggelar safari Ramadhan, mengajak siswanya mengunjungi saudara-saudara Kristen.
Sebaliknya, Ester, guru Agama Kristen di SD Negeri 07 Poso Kota, kini tak lagi cemas berada di komunitas yang mayoritas Muslim. Kepala SD tempat ia mengajar, Ani Dako, yang beragama Muslim, mengajak semua guru harus menampilkan contoh persaudaraan tanpa memandang perbedaan agama di hadapan para siswa mereka.
Inisiatif kalangan akar rumput masyarakat Poso untuk memperkuat silaturahim begitu kuat. Ketika ada peluang untuk bisa bersatu, baik dalam acara keagamaan, seni budaya, maupun olahraga, akan dioptimalkan.
 

Agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa akan tetap saling berbeda, baik secara kelembagaan maupun orientasi kehidupannya. Namun, dibalik perbedaan-perbedaan itu secara keseluruhan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetap mengembangkan sejumlah pandangan secara uiversal. Tekanan pada kejujuran(baik sikap maupun perilaku), keikhlasan dan ketulusan dalam sikap dan tindakan, tekanan pada sisi keakhiratan dan keduniawian dalam porsi cukup seimbang dan sejumlah hal-hal lain yang mendasar dapat ditarik dari agama-agama yang ada dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini dapat ditarik etos tertentu yang disepakati bersama untuk dijadikan landasan seterusnya. (Oetojo, 1998:165)
Dari kasus diatas dapat kita ambil kesimpulan bahwa konflik agama yang terjadi di Poso selama bertahun-tahun dapat terselesaikan secara kekeluargaan. Dengan jalan semua pihak meghargai kepercayaan agama lain dan menjadikan semua adalah saudara sehingga dari konflik tersebut bisa menjadi suatu acuan dalam kehidupan yang lebih baik. Hal ini dapat menjadi pelajaran bagi kita juga bahwa tidak ada guna berkonflik untuk mempertahankan persepsi bahwa kepercayaan yang dimiliki adalah yang terbaik karena negara Indonesia juga memberikan kebebasan kepada masyarakatnya untuk menentukan kepercayaan yang diyakini kebenarannya.
Kasus Poso dimana antara umat Islam dengan umat Kristen berkonflik selama bertahun-tahun yang menyebabkan berbagai kerusakan dan memakan banyak korban jiwa kini dapat terselesaikan. Dari dapat kita tarik sebai salah satu cerminan sikap manusia Indonesia dalam menghadapi heterogenitas terutama dalam bidang agama. Karena tidak seharunya kita hanya berkaca pada sikap negatif saja karena dari persepsi ini yang membuat seseorang enggan untuk berubah. Sisi baik manusia Indonesia yang dapat kita ambil dari kasus Poso ini adalah sikap saling memaafkan dan menghargai. Secara garis besar toleransi beragama akan dapat terwujud apabila dalam suatu masayarakat terdapat sikap saling menghargai dan memaafkan, serta mengadakan suatu perundingan apabila terdapat kesalah pahaman dalam suatu ajaran tertentu dan menjadikannya sebagai pembenaran bukan suatu pembantaian. Dalam setiap ajaran agama pun pastinya tidak menginginkan suatu peperangan apabila masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Dari pembahasan mengenai definisi toleransi agama dan toleransi agama di Indonesia beserta contoh kasusnya dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud toleransi beragama adalah sikap lapang dada dalam menghargai kepercayaan, prinsip dan pegangan hidup orang lain tanpa harus mengakui kebenaran atau mengorbankan kepercayaan yang dianutnya.
Di negara Indonesia melalui contoh kasus agama di Poso antara tahun 1998-2006 dapat kita ambil kesimpulan bahwa manusia Indonesia mempunyai jiwa kekeluargaan yang tinggi, memaafkan, dan menghargai perbedaan. Dari semua sikap itu lah toleransi umat beragama dapat diciptakan.

Sumber:

Ajad Sudrajat dkk.2009.Din Al-Islam.Yogyakarta: UNY Press.
Ester Lince Napitupulu. 2010. Persaudaraan adalah Kekuatan.  http://regional.kompas.com/read/2010/10/11/0402149/Persaudaraan.adalah.Kekuatan      diunduh pada 19 Maret 2011.
Oetojo Oesman(ed.).1990.Pancasila sebagai Ideologi.Jakarta : BP-7 Pusat.
Soejdati Dwiwandono.1995.Setengan Abad negara Pancasila.Jakarta : Centre for Strategis and Interntional Studies.

0 komentar:

Posting Komentar